Kue Pancong Penggoda di Klender
Asap mengepul dari 6 buah panggangan ado
nan kue berwarna silver ini, menandakan kue tersebut perlu untuk diintip. Sudah matangkah pesananku? Belum, masih berwarna pucat dan adonan kue masih basah. Belum tampak kekuningan, apalagi coklat. Masih jauh. Kue apa ya?
Tempatnya lebih mirip warteg (warung kecil yang berjualan nasi dengan aneka lauk dan sayuran siap makan, red). Terbuat dari kayu yang sudah lama, bercat putih yang juga tidak baru. Jika berdiri, kita bisa melongokkan kepala di jendelanya yang terpasang kawat sebagai keluar masuk udara. Pintu tersedia 2 dengan 1 menghadap jalan raya Klender dan 1 lagi di jalan masuk ke dalam gang, Jln. Bulak Timur 1.nan kue berwarna silver ini, menandakan kue tersebut perlu untuk diintip. Sudah matangkah pesananku? Belum, masih berwarna pucat dan adonan kue masih basah. Belum tampak kekuningan, apalagi coklat. Masih jauh. Kue apa ya?
Daftar harga yang tercantum (doc pribadi)
Di depan warung kue ini tertulis, Kue Pancong Boelak Klender berwarna hijau dengan background warna hitam. Seram? Tidak. Malah harum aroma kue pancong yang tengah di panggang tersebar hingga keluar. Memaksa siapapun untuk mampir disana, membeli penganan ringan teman minum kopi atau teh itu.
Waktu itu, aku bersama Donna Merlinda temanku, ceritanya kelaparan (kelas berat). Kami belum sarapan pagi. Dan sebelum hari penuh dengan kerjaan bakti sosial (baksos) yang akan dilaksanakan Minggu, maka Sabtu itu kami sibuk memasukkan segala macam kebutuhan baksos.
Donna yang akrab kupanggil Kadon, mengajakku ke depan gang dimana ada warteg yang ternyata bersebelaham dengan warung kue pancong tersebut. Tanpa penyekat! Lepas begitu saja. Jadi sambil memesan makanan berat, yakni nasi dan lauk pauknya, selanjutnya, taraaaas…. ada pencuci mulutnya juga deh disebelahnya. Kue pancong! Hihihhiiii… sudah seperti di restoran kelas atas saja ya? Ada menu main corse dan dessert sekalian. Aseeeeeekkk
***
Pesanan mie rebusku dan mie goreng Kadon sudah dihidangkan. Kadon memesan nasi berikut lauknya. Sementara mataku melirik ke sebelah, dimana asap panggangan kue pancong itu memanggilku. Ishhh…. kepengin kali lah pesan kue itu, tapi melirik semangkuk mie kuah yang penuh itu, aku takut tak habis jika memesan kue juga.
Kami makan, berjauhan tentu saja. Soalnya Kadon makan nasi
dan aku melahap seporsi mie di hadapanku. Belum habis separuhnya, aku berdiri dan hahahahaaa… ngga tahan euy sama aroma kue pancong itu.
Iya, aku memesan setengah kue pancong yang 1 deretnya berisi 8 potongan kue. Aku meminta dibungkus dengan isian coklat keju, lalu melanjutkan makan karena harus antri menunggu pesanan orang sebelumnya.
Tak lama, aku selesai makan dan mulai memperhatikan bapak yang akan membuatkan kue pancong pesananku. Heheeh… penasaran, ngobrol dengan hal yang aku belum tahu itu adalah hal biasa untukku.
Kue pancong ini tidak lama kok memasaknya. Sepertinya antara 10-15 menit. Aku bingung harus mengatakan apakah kue pancong ini dipanggang atau digoreng. Kenapa? Karena diletakkan diatas tungku serupa panggangan, namun memasaknya, perlu sedikit minyak agar adonan tidak lengket. Mungkin sebagai pelumas ya? Biasanya kan memasak kue seperti itu perlu mentega kan? Tapi di kue pancong ini pakai sedikit minyak. Alasannya you know laaahh….
Intipan pertama yang tak sampai 5 menit, kue masih dalam adonan basah. Intipan kedua, adonan sedikit kering. Karena si bapak sudah tahu aku ingin rasa apa, segera diberikan meses (coklat tabur) diatasnya lalu parutan keju setelahnya. Panggangan kue ditutup menunggu kering sesuai pesananku.
Kata si bapak yang berusia 40 tahun ini, ada juga yang membeli kue pancong dalam keadaan basah setengah kering. Jadi kue bawahnya mulai kering (bagian kulit) dengan atas yang basah.
“Memangnya sudah masak ya pak, kalau adonannya begitu?” tanyaku.
“Sudah, nak. Banyak kok yang sering beli kue pancong basah itu,” ujarnya.
Kemudian, ia membuka penutup kue pesananku dan akan membersihkan pinggiran kue yang tadinya luber di pinggiran cetakan kue.
“Pak, jangan dibuang. Biarkan saja. Kan garing kremes-kremesnya bisa dimakan. Suka saya,” nyengir.
Si bapak sedikit melongo, “Kan ngga rapi, nak. Jarang orang mau pinggiran kue yang kering itu.”
“Saya termasuk yang jarang itu, pak,” senyum.
“Baiklah,” ia tak jadi menyingkirkan serpihan pinggiran kue itu. Menutup kembali. Tak lama kemudian mengangkat kue dari cetakan panggangan dan mengemasnya dengan rapi.
“Cukup setengah saja?”
“Iya, cukup pak. Kenyang saya.”
Aku selesai, Kadon pun selesai dengan sarapan beratnya dengan tambahan nasi berikut lauk pauknya itu. Kami membayar makanan dan segera keluar. Tugas sudah menunggu.
Kalau dilihat bentuk jadinya, kue pancong ini mirip kue pukis atau ada juga yang menyebutnya bandos. Pernah lihat kan kue-kue itu di gerobak abang jualan di sekolah dasar? Bahan kuenya itu hampir sama, hanya dalam adonannya itu ditambah parutan kelapa. Saat digigit kan terasa kelapanya. Entah kalau yang menggunakan parutan kelapa, namanya apa ya? Mungkin beda isinya saja kali ya? Hahahh… bukan pakar kue sih saya..
Tak sabar sih, aku membuka kemasan kue pancong coklat kejuku. Mencicipinya dan hmmm…. it’s good. Garing dan begitu digigit, lembut kue dari daging atasnya terasa. Belum lagi aroma khas kue pancongnya. Memang enak dimakan pada saat asap masih mengepul, karena empuk juga aroma kuenya jadi keluar. Sedaaaaaappp…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar